IPM Makassar Gelar Musyda 14-15 Februari Mendatang

Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Makassar akan menggelar Musyawarah Daerah XXI, 14-15 Februari mendatang. Kegiatan rencanya akan berlangsung di Aula SMK Negeri 5 Makassar, Jln. Sunu No. 106.

Hal ini diungkapkan Hasanuddin, Sekretaris Umum PD IPM Makassar yang dikonfirmasi setelah menghadiri rapat pleno diperluas di Maccini beberapa waktu lalu. "Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi hasil kinerja dari kepengurusan Pimpinan Daerah selama 2 tahun." ungkap Hasan.

Agenda demokrasi akbar di tubuh Ikatan Pelajar Muhammadiyah ini memang merupakan sebuah rutinitas yang mesti dijalani setiap dua tahunnya. Kegiatan ini juga bertujuan untuk memilih nahkoda baru yang akan mengawal IPM periode 2008-2010. Hal ini dimaksudkan untuk mencoba merefleksikan gerakan yang dilakukan selama dua tahun sekaligus melakukan penyegaran di struktural IPM Kota Makassar.


Rencanya kegiatan ini akan dihadiri oleh ribuan anggota yang tersebar di 20 pimpinan cabang dan 120 pimpinan ranting dan akan dibuka langsung oleh walikota Makassar, H. A. Herry Iskandar. Selain itu, juga akan hadir alumnus IPM Se-Kota Makassar yang akan berkumpul di SMK 5 Makassar pada saat reuni alumni.

Perhelatan akbar ini juga akan dimeriahkan dengan berbagai acara pendukung. "Untuk memeriahkan kegiatan ini kami telah menyiapkan beberapa agenda pendukung diantaranya pawai ta'aruf, seminar pelajar, peluncuran buku panduan internet, dan reuni alumni. Dan untuk menyukseskan kegiatan ini kami telah memandatir panitia pelaksana yang akan bekerja selama kurang lebih sebulan" ujar mahasiswa Teknik Elektro UNM ini.


Komposisi Panitia Pelaksana
Musyawarah Daerah XXI
Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Makassar

Ketua : Awang Darmawan
Sekretaris : Nursyamsul
Bendahara : Astuti
Koord. Dana : Ilham Supiana
Koord. Konsumsi : Nurhikmawati Hasbiah
Koord. Perlengkapan : Syahrian
Koord. Akdok : Ade Amrini
Koord. Humas : Lubnah Ainun Salsabil
Koord. Kesekretariatan : Alif Khaeran



Selengkapnya...

Tamasya Berakhir Hari Ini

Sabtu, 17 Januari 2009, merupakan hari terakhir perjalanan Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Kota Makassar dalam mengawal pelaksanaan PKTM I yang dilaksanakan di beberapa cabang di Kota Daeng. Tamasya kali ini diawali dari Cabang Karunrung yang menggelar PKTM I pada medio Desember yang lalu dan Pimpinan Cabang IPM Maccini merupakan cabang terakhir yang mengakhiri pelaksanaan PKTM I pada liburan kali ini setelah tadi pagi, pukul 8.00 Ketua Umum PD IPM Kota Makassar, Andi Muh. Abdi, menutup acara tersebut.

Dalam sambutannya, Abdi, sapaan akrab beliau, mengatakan bahwa kader IPM hari ini mesti melakukan upaya pengembangan potensi mereka dengan memanfaatkan segala apa yang ada disekitar mereka. Abdi menganggap hal ini merupakan sebuah prioritas yang harus dilakukan seorang kader agar nantinya mereka mampu memberdayakan potensi mereka di organisasi dan memanfaatkannya bagi khalayak ramai.


“Saat ini masih sangat banyak pelajar yang tidak tahu apa yang menjadi kecenderungan mereka sehingga hal ini sangat berdampak pada pandangan mereka ketika mereka aktif di IPM, mereka tak tahu apa yang seharusnya diperbuat ketika tergabung dalam organisasi kepelajaran seperti ini” ungkap orang nomor wahid di IPM Kota Makassar ini. Abdi juga berharap dari sekian banyak peserta yang dikader pada liburan kali ini dapat menunjukkan loyalitas dan militansinya dalam berikatan. “Paling tidak hal itu diperlihatkan dengan selalu terlibat aktif mengikuti kegiatan yang dilaksanakan di cabangnya masing-masing” imbuhnya.

Hal senada diungkapkan oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah Maccini yang diwakili oleh Bapak Ust. Sudirman selaku Pembina di SMPMuhammadiyah I Makassar. Dalam sambutannya di hadapan 70 peserta PKTM I mengatakan bahwa Muhammadiyah hari ini sangat berharap agar IPM sebagai ujung tombak perkaderan di tingkat basis massa paling bawah dapat melahirkan kader-kader yang militan dan loyal terhadap organisasi. “Kami berharap melalui perkaderan di IPM dapat terlahir Ahmad Dahlan – Ahmad Dahlan baru yang akan memperjuangkan Muhammadiyah nantinya” tegasnya.
Selengkapnya...

IPM Mengutuk Agresi Israel atas Palestina

Agresi besar-besaran yang dilakukan oleh Israel yang telah berlangsung kurang lebih 3 pekan terakhir ini terus mendapat kecaman dari berbagai kalangan di seluruh penjuru dunia. Tidak hanya dari negara-negara Arab dan sekitarnya, berbagai negara di Eropa pun telah jelas mengutuk serangan yang telah menewaskan 900 orang lebih dan 3200 orang luka-luka meskipun Dewan Keamanan PPB telah mengeluarkan resolusi untuk melakukan genjatan senjata.

Tak ketinggalan, organisasi-organisasi seluruh dunia pun mencoba bersuara, mengutuk keras pembantaian yang telah dilakukan oleh Israel di Perbatasan Gaza, Palestina. Salah satunya adalah IPM Kota Makassar. Organisasi perhimpunan pelajar Muhammadiyah di Kota Makassar ini menyatakan mengutuk keras serangan yang dilakukan oleh Israel terhadap negara yang merupakan tempat lahirnya tiga agama samawi tersebut. “Sebagai organisasi Islam tentunya kami sangat mengecam seluruh aktivitas militer Israel yang telah melakukan pembantaian besar-besaran di perbatasan Gaza, Palestina. Apalagi sebagian besar korbannya adalah warga sipil, yakni anak-anak dan wanita yang tidak berdosa” tegas Wardiyansyah, Ketua Bidang Hikmah dan Advokasi PD IPM Kota Makassar.


Dian, sapaan akrab Wardiyansyah, menambahkan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Israel merupakan tragedi Keynoshida (pembantaian besar-besaran) dalam sejarah peradaban umat manusia di dunia. Untuk itu, perlu ada tindak tegas dari pihak yang berwenang, dalam hal ini PBB, untuk segera menghentikan agresi militer tersebut. “Kami mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk dapat meminta kepada DK PBB untuk segera bertindak tegas atas pembantaian yang dilakukan terhadap saudara-saudara kami di Palestina agar korban yang berjatuhan tidak bertambah lagi. Karena belakangan ini kami menilai PBB kehilangan taringnya dalam mencoba mengatasi krisis yang berlangsung diantara kedua negara tersebut” ungkapnya.

Aktivis IPM ini juga berharap kepada seluruh negara-negara Arab agar segera melakukan upaya untuk mencoba menengahi pertikaian yang terjadi di Timur Tengah. “Kami berharap negara-negara Arab mampu membuka mata dan berempati atas apa yang tengah dirasakan oleh warga Palestina saat ini serta mencoba mencari solusi untuk segera mengakhiri pembantaian ini. Kepada negara-negara tetangga Palestina, seperti Mesir, kami meminta agar dapat memberikan akses di perbatasan Rafah agar bantuan dapat segera disalurkan” jelasnya.

Ketika ditanya apa yang telah dilakukan oleh IPM sendiri bagi Palestina, Dian hanya mengatakan bahwa saat ini di kalangan IPM telah berupaya untuk melakukan penggalangan dana di seluruh sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tersebar di Kota Makassar. “Paling tidak apa yang kami lakukan ini merupakan wujud simpati kami dan kami berharap ini mampu memberikan bantuan kepada saudara-saudara kami di Palestina walaupun bentuknya kecil. Kami juga menghimbau kepada seluruh warga IPM untuk dapat mendoakan saudara-saudara kita di Palestina yang mungkin saat ini berhadapan dengan bom-bom yang terus menerus diluncurkan oleh roket-roket Zionis Israel” tutupnya. (aw)
Selengkapnya...

Peran Gerakan Pelajar di Usai Reformasi

Ketika berbicara pergerakan nasional di Indonesia, biasanya orang merujuk pada gerakan-gerakan kemahasiswaan dan luput membicarakan peran gerakan kepelajaran. Padahal, dalam sejarah pergerakan nasional, pelajar juga mempunyai andil cukup strategis dalam proses pembentukan pergerakan nasional.

Pelajar berandil pada era prakemerdekaan, kemerdekaan, orde lama, orde baru, orde reformasi, bahkan hingga era sekarang ini, yaitu era pascareformasi. Kalau kita kembali ke belakang, gerakan pelajar di era prakemerdekaan belum terbentuk secara organik dan masih tergabung dalam wadah gerakan kemahasiswaan atau kepemudaan.

Di era kemerdekaan dan orde lama, mulailah muncul gerakan-gerakan kepelajaran yang bersifat mandiri dan tidak tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan atau pun kepemudaan. Hal ini bisa kita lihat dengan munculnya Pelajar Islam Indonesia (PII) pada 1947, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) tahun 1954, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama pada 1955 dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada 1961 (berubah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah pada 1992).

Gerakan pelajar langsung atau tidak langsung telah memberikan kontribusi bagi kelompok sosial pelajar di Indonesia, khususnya pelajar Islam. Gerakan dengan ideologi, tradisi, corak, dan keunikannya masing-masing berkontribusi dalam internalisasi nilai-nilai Islam dan keindonesiaan.

Yang lebih strategis lagi, dari organisasi-organisasi kepelajaran ini sudah terbukti banyak melahirkan tokoh-tokoh penting. Gerakan pelajar tentu tidak hidup dalam ruang sejarah yang hampa karena situasi sosial, ekonomi, politik, agama, pendidikan, budaya, dan bidang lainnya pun berubah.


Belum lagi dengan berbagai persoalan yang menghimpit bangsa Indonesia. Konstelasi problematika yang sedemikian kompleks ini tentu berimplikasi pada positioning yang rumit bagi gerakan pelajar.

Meskipun demikian, gerakan pelajar harus tetap berpartisipasi aktif mengambil peran strategis pada era usai reformasi yang mengalami turbulensi. Gerakan pelajar harus mampu menawarkan gagasan dan aksi-aksi baru yang segar, kritis, visioner, dan transformatif.

Lalu, gagasan dan aksi gerakan yang dimaksud seperti apa? Ini yang harus kita diskusikan bersama.

Gerakan pelajar terlebih dahulu harus memahami bahwa keberadaan mereka karena untuk memperjuangkan kepentingan basis massanya, yaitu pelajar. Untuk mampu menemukannya, gerakan pelajar harus berangkat dari realitas yang dihadapi oleh pelajar.

Mereka tidak bisa berangkat dari daftar keinginan subjektif saja, tapi harus terlebih dahulu membaca secara objektif di lapangan. Yang tepat dalam konteks ini adalah mendialektikan antara subjektivitas dan objektivitas. Ini untuk meminimalisasi eksploitasi oleh elite gerakan pelajar terhadap basis massanya, yaitu menjadikan elite sebagai subjek dan massa sebagai objek.

Gerakan pelajar harus terlibat dan bergumul dengan problematika pelajar. Mereka secara intensif hadir di tengah-tengah pelajar untuk berdiskusi, berdialog, dan mendengarkan aspirasi. Jadi, mereka tak hanya mengajak berpikir kritis tentang persoalan di lingkup sekolah saja, tapi juga tentang kondisi sosial, politik, agama, dan budaya dalam perspektif anak-anak muda.

Dengan media itulah kita akan dapat memahami dan menghayati kegelisahan, harapan, dan suara- suara generasi masa depan Indonesia.

Pelajar menghadapi masalah lemahnya budaya membaca, korban kebijakan pendidikan, objek politik, sasaran budaya konsumerisme dan hedonisme, juga korban kekerasan media. Pelajar sangat rentan menjadi korban dari proses sosial politik.

Program strategis
Ada beberapa program strategis. Pertama, gerakan iqra (membaca). Ini penting karena minat baca mereka sangat rendah. Laporan terbaru dari Programmer for International Student Assessment (PISA) pada 2003 menyatakan dari 40 negara, Indonesia berada pada tingkat terbawah dalam kemampuan membaca.

Kampanye gerakan ini amat penting sebagai jihad peradaban. Kegiatan-kegiatan yang merangsangnya harus terus diciptakan. Gerakan pelajar juga harus mampu membangun aliansi dengan berbagai elemen masyarakat agar masalah tersebut tuntas.

Kedua, melakukan pendidikan politik untuk menyadarkan pelajar sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kelompok sosial lainnya. Pelajar mempunyai hak pendidikan (akses pendidikan, perlakuan sama, dilindungi dari kekerasan pendidikan, dan lainnya) dan hak politik (bersuara, berserikat, memilih, dan dipilih).

Pendidikan politik masih relevan dilakukan karena banyak partai politik (parpol) belum serius mendidik mereka. Parpol justru melakukan pembodohan politik dan masih menganggap pelajar sebagai objek.

Pelajar hanya dijadikan penggembira ketika kampanye-kampanye politik. Aspirasi kaum muda (pelajar khususnya) belum secara serius diperjuangkan.

Ketiga, membangun gerakan advokasi pendidikan. Pendidikan adalah dunia yang paling dekat dengan pelajar. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam pendidikan sangat berkaitan dengan dunia pelajar.

Akibat ekonomi neoliberalisme, terjadi pengurangan subsidi untuk hajat publik. Salah satunya pengurangan subsidi pendidikan.

Pendidikan pun semakin mahal. Banyak pelajar miskin putus sekolah. Semakin mahalnya pendidikan mengakibatkan banyak rakyat miskin dan tidak dapat mengakses pendidikan. Dalam konteks inilah gerakan pelajar harus berada pada garda terdepan menyuarakan education for all dan realisasi 20 persen APBN untuk pendidikan.

Kasus kekerasan pendidikan juga semakin merebak. Kasus kekerasan beraneka ragam dan pelakunya berbeda-beda. Upaya-upaya advokatif (penyadaran, pendampingan, dan pembelaan) harus dilakukan untuk membabat habis akar-akar kekerasan itu. Gerakan pelajar harus melawan kekerasan tanpa kekerasan.

Keempat, melakukan gerakan budaya tanding (counter culture) terhadap budaya populer yang boros dan hedonis di media, khususnya TV. Banyak tayangan TV tidak mendidik dan mencerahkan, tapi mengajarkan gaya hidup glamor, kekerasan, dan mistik yang menumpulkan akal sehat.

Pelan tapi pasti, sinetron-sinetron yang ada di TV memberikan pengaruh negatif bagi anak-anak muda, khususnya para pelajar. Imitasi pun banyak dilakukan, mulai dari cara berpakaian, makan, minum, berbicara hingga bergaul.

Budaya baca belum tumbuh dan mengakar dalam masyarakat kita, tiba-tiba diserbu budaya visual. Masyarakat pun mengalami lompatan atau bahkan shock culture yang cukup dahsyat.

Melihat hal tersebut, gerakan pelajar harus mengambil inisiatif untuk melakukan perlawanan. Gerakan-gerakan populis untuk menyadarkan masyarakat tentang tontonan yang tidak mendidik harus dilakukan. Misalnya, dengan gerakan satu hari tanpa TV, kampanye tontonan yang sehat, memboikot sinetron-sinetron cabul, porno, horor, dan mistik yang dapat menumpulkan daya pikir.

Moh. Mudzakkir
Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah

Selengkapnya...

Agama Menghadapi Perubahan Nilai

Era informasi dan globalisasi sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah berdampak hampir ke semua aspek kehidupan masyarakat. Susanto (1998:109) menyebutkan, perubahan masyarakat akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membawa dampak yang besar pada budaya, nilai, dan agama. Nilai-nilai yang sementara ini dipegang kuat oleh masyarakat mulai bergeser dan ditinggalkan. Sementara nilai-nilai yang menggantikannya tidak selalu sejalan dengan landasan kepercayaan atau keyakinan masyarakat, sehingga penyimpangan nilai kian subur dan berkembang.

Dalam situasi seperti ini, remaja dan mahasiswa yang sedang berada dalam kondisi psikologis yang labil menjadi korban pertama sebagaimana terjadi dalam berbagai kasus hedonisme, konsumerisme, hingga peningkatan kenakalan remaja dan narkotika. Hal ini semakin membuktikan bahwa nilai-nilai hidup tengah bergeser sehingga membingungkan para remaja, menjauhkan mereka dari sikap manusia yang berkepribadian (Poespoprodjo,1988:45).

Laporan hasil polling Indonesia Foundation (Pikiran Rakyat,29/7 2005) menyebutkan, sedikitnya 38.288 orang remaja di Kabupaten Bandung diduga pernah melakukan seks pranikah. Jika jumlah remaja di Kabupaten Bandung mencapai 765.762 orang, mereka yang telah melakukan pelanggaran seksual sebesar 50,56%. Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat Dr. Siswanto Agus Wilopo, S.U., M.Sc., Sc.D. sebagaimana dilaporkan Pikiran Rakyat (Bandung, 6 April 2006) mengatakan, aborsi di Indonesia terjadi 2-2,6 juta kasus per tahun dan dilakukan oleh penduduk usia 15-24 tahun. Selanjutnya ia menyarankan bahwa upaya preventif yang paling mendasar untuk mencegah aborsi oleh remaja dapat dilakukan melalui pengajaran norma-norma, budi pekerti, agama, dan moralitas yang bertanggung jawab dalam perilaku seksual.

Laporan tersebut menunjukkan, bahwa remaja kita, khususnya para pelajar dan mahasiswa sedang mengalami proses kegalauan nilai yang parah di mana pendidikan sebagai pembinaan nilai dan moral dituntut untuk dapat menanggulangi dan mengantisipasinya sehingga masa depan bangsa dapat diselamatkan. Berbagai fenomena pelanggaran moral di kalangan pelajar dan mahasiswa membuat khawatir sebagian besar masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Pendidikan moral yang selama ini menjadi garapan pendidikan dalam keluarga mulai dirasakan hampa makna, mengingat orang tua tenggelam dalam kesibukannya masing-masing. Sementara sekolah dan perguruan tinggi, padat dengan pencapaian tujuan kurikulum yang menonjolkan aspek kognitif. Output pendidikan lebih banyak menghasilkan pengetahuan, tetapi tidak mampu menghadapi tantangan hidup dan kehidupan (survive). Standar moral dan spiritual anak nyaris tanpa sentuhan, sehingga nilai dan norma yang tertanam pada diri anak hanya sesuatu yang absurd.


Rendahnya pendidikan masyarakat, sistem pendidikan yang tidak mapan, struktur ekonomi yang keropos, serta jati diri bangsa yang belum terinternalisasikan, menjadikan bangsa rentan terhadap nilai-nilai baru yang datang dari luar. Nilai-nilai Barat yang sebagian berseberangan dengan nilai-nilai ketimuran dengan mudah diadopsi, terutama oleh generasi muda. Nilai yang mudah ditiru pada umumnya adalah nilai-nilai yang berisi kesenangan, permainan, dan hedonisme yang sering kali membawa dampak buruk. Sebaliknya, nilai-nilai positif dari Barat seperti kecerdasan dan kemajuan iptek tidak dicerap dengan baik. Menghadapi persoalan tersebut, di kalangan ahli pendidikan sepakat untuk membina dan mengembangkan pendidikan nilai, moral, dan norma.

Nilai adalah patokan normatif yang memengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif (Kupperman, 1983). Nilai dilihat dalam posisinya adalah subjektif, yakni setiap orang sesuai dengan kemampuannya dalam menilai sesuatu fakta cenderung melahirkan nilai dan tindakan yang berbeda. Dalam lingkup yang lebih luas, nilai dapat merujuk kepada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Ketika kebaikan itu menjadi aturan atau menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur dalam menilai sesuatu, maka itulah yang disebut norma. Jadi nilai adalah harga yang dituju dari sesuatu perilaku yang sesuai dengan norma yang disepakati. Sedangkan moral adalah kebiasaan atau cara hidup yang terikat pada pertanggungjawaban seseorang terhadap orang lain sehingga kebebasan dan tanggung jawab menjadi syarat mutlak.

Nilai, moral, dan norma merujuk kepada kesepakatan dari suatu masyarakat. Karena itu, nilai, moral, dan norma akan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat (relatif). Agama dipandang sebagai sumber nilai karena agama berbicara baik dan buruk, benar, dan salah. Demikian pula, agama Islam memuat ajaran normatif yang berbicara tentang kebaikan yang seyogianya dilakukan manusia dan keburukan yang harus dihindarkannya. Islam memandang manusia sebagai subjek yang paling penting di muka bumi sebagaimana diungkapkan Alquran (Q.S. 45:13) bahwa Allah menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Sedangkan ketinggian kedudukan manusia terletak pada ketakwaannya, yakni aktivitas yang konsisten kepada nilai-nilai Ilahiah yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial.

Dilihat dari asal datangnya nilai, dalam perspektif Islam terdapat dua sumber nilai, yakni Tuhan dan manusia. Nilai yang datang dari Tuhan adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan yang terdapat dalam kitab suci. Nilai yang merupakan firman Tuhan bersifat mutlak, tetapi implementasinya dalam bentuk perilaku merupakan penafsiran terhadap firman tersebut bersifat relatif.

Menelusuri makna nilai dalam perspektif Islam dapat dikemukakan konsep-konsep tentang kebaikan yang ditemukan dalam Alquran. Beberapa istilah dalam Alquran yang berkaitan dengan kebaikan, yaitu alhaq dan al-ma'ruf serta lawan kebaikan yang diungkapkan dalam istilah albathil, dan almunkar. Haq atau alhaq menurut pengertian bahasa adalah truth; reality; rightness, correctness; certainty, certitude dan real, true; authentic, genuine; right, correct, just, fair; sound, valid.

Alhaq diulang dalam Alquran sebanyak 109 kali. Alhaq mengandung arti kebenaran yang datang dari Allah, sesuatu yang pasti seperti datangnya hari akhir, dan lawan dari kebatilan. Alhaq dalam Alquran dikaitkan dengan Alquran sebagai bentuk sumber dan Muhammad sebagai pembawa yang menyampaikannya kepada manusia. Haq adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan datang dari Tuhan melalui wahyu. Manusia diminta untuk menerima dengan tidak ragu-ragu mengenai kebenaran nilai tersebut (Q.S. 2:147). Haq bersifat normatif, global, dan abstrak sehingga memerlukan penjabaran sehingga dapat dilaksanakan secara operasional oleh manusia.

Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.

Pelaksanaan ajaran agama dipandang cukup dengan melaksanakan ritual agama, sementara aspek ekonomi, sosial, dan budaya lainnya terlepas dari nilai-nilai agama penganutnya atau dengan kata lain pelaksanaan ritual agama (ibadah) oleh seseorang terlepas dari perilaku sosialnya. Padahal, ibadah itu sendiri memiliki nilai sosial yang harus melekat pada orang yang melaksanakannya, misalnya orang yang salat ditandai dengan perilaku menjauhkan dosa dan kemunkaran, puasa mendorong orang untuk sabar, tidak emosional, tekun, dan tahan uji.

Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat. Apalagi pada masyarakat Indonesia yang sedang dalam masa pancaroba ini. Aktualisasi nilai dilakukan dengan mengartikulasikan nilai-nilai ibadah yang bersifat ritual menjadi aktivitas dan perilaku moral masyarakat sebagai bentuk dari kesalehan sosial

Awang Darmawan
Sekretaris Bidang Pengkajian dan Ilmu Pengetahuan PD. IPM Kota Makassar
Selengkapnya...